EKSEKUSI !

Mimpi-mimpi dalam kertasmu hari ini adalah takdirmu di masa depan :)

Sabtu, 10 November 2012

Pahlawan Disekitar Kita



Kita tak perlu menjelajahi pelosok negeri untuk mencari kisah-kisah heroik mengenai perjuangan dalam dunia pendidikan. Kisah-kisah tersebut bukan hanya tentang para pengabdi yang mendedikasikan hidup demi mengajar anak-anak suku pedalaman nun jauh di sana. Kisah-kisah itu bisa saja datang dari realita yang tergambar dalam kehidupan sehari-hari. Oleh Karena itu, cukup buka mata kita lebih lebar untuk menyadari bahwa ternyata para pahlawan dunia pendidikan itu berada di antara kita. 

Para pahlawan yang dimaksud yaitu mereka yang berjuang memajukan dunia pendidikan baik dengan atau tanpa tuntutan sebagai pengajar. Mereka adalah barisan guru yang mungkin tiap hari melewati rumah kita untuk mengajar anak-anak dan adik-adik kita. Mereka adalah barisan sukarelawan yang merintis berdirinya sekolah-sekolah baru di lingkungan kita. Mereka pun bisa berasal dari para individu-individu yang mengorbankan waktu dan tempat mereka untuk membuka rumah baca bagi warga.

Dari sekian banyak pahlawan yang pernah mencerahkan kehidupan saya, dapat saya pilih satu orang yang memiliki kisah perjuangan yang begitu insfiratif. Kisah ini adalah tentang seorang guru bernama Bapak Ma’ruf. 

Kota tempat kami tinggal, Tasikmalaya, bisa dibilang sebuah kota agamis, dimana kehidupan berbasis agama masih diterapkan dengan baik. Hal ini dikuatkan dengan aturan yang menyelaraskan pendidikan agama dan pendidikan umum. Telah menjadi keharusan bahwa setiap anak dalam usia sekolah dasar harus menjalankan dua proses pembelajaran. Pagi hari anak-anak tersebut bersekolah di sekolah dasar lalu pada siang atau sore hari bersekolah di sekolah agama. Selain pendidikan berbasis sekolah, masih ada opsi pembekalan ilmu melalui kegiatan mengaji sehabis magrib. Dalam hal-hal tersebutlah Bapak Ma’ruf mengambil peran sebagai kepala sekolah yang merangkap guru kelas serta sebagai guru mengaji.
  

Sekolah yang beliau pimpin bernama Madrasah Diniyah Al-Ikhlas atau sekolah setingkat Sekolah Dasar. Madrasah ini beroperasi dengan sumber dana utama berasal dari masyarakat. Masyarakat membayar Rp.6.000 per bulan. Dengan jumlah murid yang hanya sejumlah seratusan siswa, maka kontan uang tersebut sangat terbatas jumlahnya. Belum lagi, kenyataannya tidak semua siswa sanggup membayar. Oleh karena itu, para pengurus madrasah seringkali harus mengeluarkan dana pribadi untuk menambah biaya operasional.
 
  
Tidak hanya mengelola madrasah, beliau merintis beberapa bentuk pendidikan baru di lingkungan kami. Beberapa tahun lalu, sebuah Sekolah Persamaan Paket A-B dan C, Yayasan Panti Anak, dan sekolah Pendidikan Anak Usia Dini berdiri di lingkungan kami.
Sekolah Pendidikan Usia Dini (PAUD) yang beliau rintis memegang peran penting bagi proses edukasi di masyarakat. Keberadaan fisik bangunan Sekolah PAUD ini masih menyatu dengan Madrasah Al-Ikhlas. Pihak pengurus madrasah terpaksa menyulap ruangan madrasah dengan cara dipersempit dengan sekat-sekat demi memberi ruangan khusus bagi PAUD ini. Namun, nyatanya semua keterbatasan fasilitas itu tak menghambat antusiasme masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya di madrasah maupun PAUD tersebut.
  

Lebih lanjut mengenai Sekolah Persamaan dan Yayasan Panti Anak, kedua program pendidikan ini hanya bertahan beberapa tahun. Hal ini dikarenakan hambatan fasilitas yang sudah tidak bisa diusahakan lagi. Tidak adanya lokasi khusus, sehingga gedung yang ada dibebani oleh empat fungsi secara bergiliran. Gedung tersebut selama pagi berfungsi sebagai Sekolah PAUD, siang hingga sore berfungsi sebagai madrasah, malam hari sebagai tempat mengaji, tempat pembelajaran Sekolah persamaan dan tempat menginap para anak binaan. Selain itu, beban pengelolaan keempat lembaga pendidikan in membuat pengurus kewalahan, diperkuat dengan respon masyarakat yang ternyata tidak cukup antusias dengan kedua program pendidikan tersebut, mejadikan kedua program itu harus ditutup.
  

Berbagai hambatan mengganggu keberlangsungan program-program yang beliau rintis. Tak jarang, benturan kepentingan baik pihak intern maupun ekstern menyebabkan program tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Kurangnya dukungan dari pemerintah pun memperparah keadaan ini. Hal tersebut dapat dilihat dari mulai tidak atau belum adanya bantuan operasional bagi program pendidikan ini, apalagi perkara gaji para pengajar.
  

Para pengajar di madrasah maupun PAUD tidak mendapat gaji secara tetap. Baik dri segi jumlah maupun jadwal penggajian, sama-sama tidak tetap. Namun, bagi Pak Ma’ruf hal dan para pengajar lainnya, hal tersebut bukanlah masalah. Apalagi, diluar pengabdiannya sebagai guru  Pak Ma’ruf adalah seorang wirausahawan. Beliau memiliki industri rumahan pembuatan sandal yang sekaligus merupakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Oleh karena itu, selama pengabdiannya menjadi seorang pengajar beliau tidak menjadikan pengabdiannya tersebut sebagai tempat untuk mencari nafkah. Begitu pun pengajar lainnya, tiap-tiap pengajar memiliki pekerjaan diluar kegiatan mengabdinya. Oleh karena itu, mereka tidak mengharapkan gaji dari pengabdiannya karena bukan atas dasar uang mereka mengabdi, tapi atas dasar panggilan hati dan bentuk bakti pada agama dan negeri
 
  
Apa yang telah beliau lakukan adalah bentuk dari totalitas sebuah pengabdian. Semangat beliau dalam mengedukasi masyarakat membuat individu-individu lain mulai terpanggil untuk memberikan kontribusinya. Saya masih ingat kalimat wejangan beliau bahwa pendidikan umum dan pendidikan keagamaan harus berjalan beriringan dan seimbang. Oleh karena itu, beliau selalu mendorong kami utnuk membuka diri pada peradaban tanpa meniggalkan agama sebagai fondasi. Beliau pun membekali kami dengan keberanian untuk bermimpi dan membekali kami dengan semangat untuk berjuang mewujudkannya. Itulah yang selalu dilakukan dalam pengabdian guru yang sedang mengejar gelar sarjananya ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar