EKSEKUSI !

Mimpi-mimpi dalam kertasmu hari ini adalah takdirmu di masa depan :)

Minggu, 04 November 2012

Menanti Guru-guru Penyelamat Negeri


Selamat datang November, bulan yang istimewa bagi negeri ini. Kibaran bendera merah putih diiringi gema lagu-lagu nasional menghiasi dataran negeri kita tercinta. Upacara demi upacara diselenggarakan untuk mengenang megahnya perjuangan bangsa ini untuk memerdekakan diri. Beberapa penghargaan kecil disematkan sebagai tanda terimakasih bagi para veteran perang.  Semua itu adalah seremonial rutin tiap tahun bagi Indonesia. Ya, Indonesia sudah merdeka. Sepuluh November dianugerahkan untuk melengkapi seremonial mengenang semua perjuangan itu. Hari Pahlawan disematkan sebagai nama bagi hari tersebut.
 
Silahkan rayakan semua kebahagiaan memeluk kemerdekaan, silahkan kenang perjuangan demi perjuangan perih untuk merebutnya, tapi jangan larut hanya sampai sini saja karena nyatanya kemerdekaan itu hanya pintu gerbang saja, takdir Indonesia masih menungu untuk dijalankan.
 
Kenyataannya, 67 kali kemerdekaan Indonesia dirayakan dan menyambut perayaan ke-67 hari pahlawan, Indonesia belum terlepas seutuhnya dari penjajahan. Ada sebuah penjajahan baru yang membelenggu negara ini. Sebuah penjajahan yang mungkin tak kasat mata oleh para pejuang dan oleh kita semua, sehingga secara tak sadar kita digerogoti dari dalam. Sebuah penjajahan modern yang berbentuk kebodohan dan kemiskinan.
 

Kebodohan dan kemiskinan adalah ancaman paling krusial dewasa ini. Kedua hal tersebut bisa menjadi hubungan sebab-akibat yang telah menjerat rakyat di banyak negara dan menyeretnya ke dalam stagnansi kehidupan. Kedua hal ini pun tak membiarkan Indonesia luput dari jeratannya.
 
Ada sebuah pertanyaan yang menuggu tanggapan kita ‘apa yang dapat kita lakukan untuk memecah rantai penjerat ini?’.
 
Para pemikir telah menemukan bahwa kedua hal tersebut hadir sebagai realita yang saling berkaitan erat. Pernyataan bahwa kebodohan sering disebabkan oleh kemiskinan didukung oleh fakta bahwa pendidikan yang berkualitas masih dihargakan dengan mahal. Hal tersebut menggantung harapan beberpa lapisan masyarakat berkaitan dengan ketidakmampuan mereka membayar harga tukar tersebut. Sedangkan pernyataan bahwa kebodohan menyebabkan kemiskinan adalah benar adanya. Faktanya banyak masyarakat yang dibohongi bahkan ditipu karena ketidaktahuan mereka.
 
Hal yang rumit memang untuk menguraikan apalagi memisahkan keduanya. Oleh karena itu, yang perlu kita lakukan adalah memahami alur kedua masalah tersebut dan ‘menembak’ kedua masalah tersebut secara bersamaan. Mari kita hadirkan contoh nyata untuk memahami masalah ini. Misalkan ada seorang anak usia sekolah dasar, disatu sisi dia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomisnya dan di sisi lain ia juga harus bersekolah. Sedangkan diantara kedua keharusan tersebut terjadi benturan kepentingan, bagaimana penyelesaiannya?
 
Jawaban dari contoh kasus ini adalah kita lakukan menejmen waktu terhadap kasus tersebut. Misalkan kita usahakan pagi hari dia bersekolah lalu sepulang dari sekolah ia bekerja. Option kedua adalah kita pilih salah satu dan kita gantikan yang lain dengan cara berbeda namun berkualitas sama. Misalnya kita pilih dia tetap bersekolah, maka kita harus mengusahakan menyediakan pekerjaan yang lebih fleksibel atau kita memilih ia tetap bekerja dan kita menyediakan pendidikan non formal yang lebih fleksibel.
 
Lebih lanjut mengenai bahasan optional kedua di atas, kepada siapakah kata ‘kita’ merujuk?
 
Kita adalah segenap orang yang mengaku berbangsa Indonesia. Kita adalah seluruh orang yang tahu, yang pernah mendengar, yang paham tentang salah satu janji kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
 
Mencerdaskan kehidupan bangsa sering dianggap menjadi beban para akademisi semata. Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya tentang transfer ilmu oleh guru di ruangan-ruangan kelas, pun bukan saja tentang observasi dosen dan mahasiswanya atau tentang persaingan para murid di perkotaan untuk mengikuti kompetisi atau olimpiade. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah juga tentang menyentuh anak-anak di alur-alur sungai pedalaman yang merindukan akademisi yang barangkali sudi mengajari mereka sekedar baca-tulis dan berhitung. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan merangkul para pekerja anak di pojok-pojok perempatan jalan untuk hadir di taman bacaan dalam waktu luangnya. Mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memeluk harapan anak-anak kampung yang siap meletakkan harapannya untuk bersekolah tinggi hanya karena jenjang sekolah selanjutnya sejauh puluhan kilo meter dari pintu gerbang kampung mereka.
 
Indonesia tidak hanya membutuhkan barisan PNS guru yang memang sudah seharusnya mengemban tugas ini, tapi Indonesia membutuhkan kompi-kompi rakyat biasa yang siap dijadikan guru. Guru yang kita butuhkan adalah orang-orang yang tidak hanya mampu memahami ilmu pengetahuan tetapi juga memahami kehidupan. Guru yang kita butuhkan tak perlu berbasis pendidikan tinggi dan tak perlu berstatus guru. Guru yang kita butuhkan adalah orang-orang yang peduli dan turun tangan pada permasalah bangsa khususnya pendidikan.
 
Apakah Indonesia kekurangan tenaga pengajar (guru)?
Pertanyaan di atas dapat dijawab dari dua sudut pandang. Dalam bidang akademis formal, Indonesia memang kekurangan guru. Hal ini dapat kita lihat dari angka persebaran guru di berbagai provinsi. Namun, lihatlah keluar ranah formal. Di pinggiran-pinggiran kota, ada orang-ornag yang menyempatkan diri membagi ilmu yang ia miliki disela kesibukannya mencari nafkah. Di tengah kota, di pojok-pojok jalan, terdapat kelompok yang merangkul para pekerja anak untuk diajarkan baca-tulis sekedarnya. Jauh di rimba-rimba ada anak-anak muda Indonesia yang memilih meninggalkan gemerlap perkotaan demi menunaikan tugas mewakili para segenap bangsa Indonesia lain dalam menunaikan janji kemerdekaan kita*. Merekalah barisan-barisan guru yang dimiliki Indonesia selain guru-guru berstatus formal yang kita miliki.
 


Indonesia tak akan pernah kehabisan manusia-manusia heroic yang rela menempuh belasan bahkan puluhan kilometer untuk mengenalkan baca tulis secara cuma-cuma, pun tak akan kehilangan barisan manusia yang mendirikan bilik-bilik sederhana bagi anak-anak pemulung di pinggiran kota, karena pada dasarnya, manusia-manusia Indonesia adalah manusia-manusia pejuang dengan hati berisi ketlusan. Dapat kita lihat diantara kerasnya upaya menyambung hidup, bermunculan orang-orang yang bersimpati, rela berbagi dan yang terpenting bersedia mengajarkan nilai-nilai  kehidupan. Pendidikan itu tidak hanya melulu tentang perhitungan fisika atau kimia, melainkan yang utama adalah bekal mengenai dasar-dasar kehidupan. Itu yang dibutuhkan oleh negeri ini sekarang, pendidikan yang aplikatif, pendidikan untuk memajukan kehidupan. Itulah kunci pemecahan rantai masalah antara kebodohan dan kemiskinan.
 
Kita, sebagai bagian bangsa yang dianugerahi keberuntungan dapat mengakses pendidikan sudah selayaknya bersyukur dengan cara membagi apa yang telah kita dapat. Marilah kita menjadi barisan guru-guru bagi negeri. Meski tanpa status pegawai dan memang bukan untuk mencari status, melainkan sebagai bentuk kesadaran kita. Kitalah yang harus melaksanankan tugas Negara untuk membayar utang ketertinggalan pendidikan pada saudara sebangsa lainnya, setidaknya ini yang bisa kita lakukan untuk menyambung perjuangan para veteran. Mari bebaskan bangsa dari penjajahan yang baru ini. Mari menjadi pahlawan setidaknya bagi lingkungan kita, meskipun bukan gelar atau pengakuan yang menjadi tjuan pengabdian.

*gerakan Indonesia Mengajar, gagasan dari Bapak Anies Baswedan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar